.

life to be the best, greatest, and became a number one.

Minggu, 20 Maret 2011

sebenarnya apa sih cinta itu??????0

mungkin kata cinta,setiap saat terdengar di telinga kita.sebenarya,apa itu cinta??.banyak orang mengartikan berbagai jenis cinta.ada yang bilang cinta iru pengorbanan,cinta itu suatu kebahagian,adapun yang berpendapat cinta itui pembodohan.darisini kita bisa menyimpulkan bahwa setiap individu memiliki pemikiranya sendiri.taka ada yang bisa menyalahkan setiap pendapat yang ada.
            sesuatu yang perlu dipertanyakan tentang ungkapan seseorang<yang pernah berkata''cinta itu lebih besar dari sayang,tapi cinta tak setulus rasa sayang yang ada''.bagaimana seseorang mengartikan ungkapan itu?itu terserah mereka.walaupun walaupun insan diseluruh muka bumi ini pernah merasakan cinta,tapi sebagian dari mereka tak tau apa itu cinta.
            memang seseoprang tak perlu bersekolah kusus,tak perlu puasa 3 hari 2 malam,ataupun menyendiri di suatu tempat yang jauh dari keramaian.hanya untuk mencari apaitu arti cinta.karena, pada dasarnya  mereka sendiri tahu atas jawwaban yang ada,tapi kesimpulanya mereka tak dapat menyimpulkannya begitu saja>
           kenapa ketika mendengar kata''cinta''kebanyakan orang hanya berpikiran dari sisi permpuan dan laki laki????.kenapa tak berpikir tentang sesama,baik sesama makluk hidup maupun yg tidak hidup sekalipun.dan seolah cinta itu hanya untuk remaja//,benarkah//,mungkin memang sebagian berkata seperi itu.karena apa bila ditlusuri lebih lanjut,bawa benar benar anak remaja selalu ingin dan ingin hari harinya dipenuhi oleh cinta,padahal  
            faktanya,cinta menurut ungkapan yang umum adalah sebuah raa yang lebih kepada sesuatu hal yang menurutnya sudah sepantasnya,tetapiu walaupun begitu,dirinya tahu bahwa sesuatu yang dicintai tak harus mencintainya.....

                 SO,.........ARTI CINTA SEPERTI APA YANG KALIAN CARI SELAMA INI???

                                                                                                          BY;FITRI YULIANI
                                                                                                                  xm2
                                                                                                            
                              
                                                                                                               fb:Fista Qoetrex
       
 

Sabtu, 19 Maret 2011

sejarah jurnalist

Berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia. (www.romeltea.com)

pasal pasal kode etik jurnalist

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
  1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
  2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
  3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
  4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal  2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
  1. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
  2. menghormati hak privasi;
  3. tidak menyuap;
  4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
  5. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
  6. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
  7. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
  8. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
  1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
  2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
  3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
  4. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
  1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
  2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
  3. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
  4. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
  5. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
  1. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
  2. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
  1. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
  2. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
  1. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
  2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
  3. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
  4. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
  1. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
  2. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
  1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
  2. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
  1. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
  2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
  1. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
  2. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
  3. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
  1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
  2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
  3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
  4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
  5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
  6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
  7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’a Hia
  8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
  9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
  10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
  11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
  12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
  13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapt
  14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
  15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
  16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
  17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
  18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
  19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
  20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
  21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
  22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
  23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S
  24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian
  25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
  26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
  27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Haziru
  28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
  29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat

Kamis, 17 Maret 2011

Teknik Mengumpulkan Berita

1. Observasi
Secara sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas social. Ada pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Seseorang disebut melakukan pengamatan langsung bila ia menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata kepalanya sendiri. Pengamatan ini bisa dilakukan dalam waktu yang pendek dan panjang. Pendek artinya, setelah melihat sebuah peristiwa dan mencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untu menulis laporan. Misalnya: peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sedangkan panjang berarti seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan ia menulis laporan dari tempat kejadian. Contoh:peristiwa bencana alam.

Seseorang disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa yang terjadi, melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan peristiwa itu. Misalnya: peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah. Si Bujang mendapat informasi bahwa di jalan Melati No. 24 ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Sesampai di sana, ia masih melihat epasang mayat tersebut. Kalau ia kemudian mendapatkan data tentang siapa yang meninggal dunia, kapan dan kenapa meninggal dunia, data itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.Pengamatan di sini tidak sama persis dengan pengamatan seorang peneliti. Seseorang peneliti melakukan pengamatan berdasarkan konsep dan hipotesis. Hasilnya, biasanya dilaporkan dengan disertai pemecahan masalah ala mereka. Sedangkan seorang pekerja pers melakukan pengamatan untuk melaporkan kejadian sebuah peristiwa apa adanya.
2. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab antara seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan data tentang sebuah fenomena (Itule dan Anderson 1987:184). Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah: a. Posisi narasumber dalam wawancara
Posisi narasumber dalam sebuah wawancara adalah ibarat posisi pembeli dalam sebuah transaksi dagang, yaitu sebagai “raja”. Semua keinginan narasumber harus dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus menanyakan keinginan
narasumber. Sebelum itu, wartawan harus memperkenalkan secara langsung jati dirinya dan untuk siapa ia bekerja kepada narasumber. Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh oleh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak.
Terdapat beberapa hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada
narasumber, misalnya:
• Apakah narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?
• Apakah narasumber tidak berniat namanya dirahasiakan dalam sebagian hasil wawancara?
• Apakah narasumber memiliki keinginan lain yang berkaitan dengan hasil wawancara?
Bila wartawan sudah mengetahui jawaban ketiga pertanyaan ini ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlbih dahulu.
Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah pekerjaan yang haram. Wartawan boleh bernegosiasi tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (ada dugaan wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber). Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua belah pihak. Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekan kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.
Setelah wawancara selesai, wartawan perlu menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan yang sudah dibuat.
Dalam pandangan sebagian kecil wartawan, pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah ketanggor, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.
b. Posisi wartawan dalam wawancara
Sebagian besar individu akan merasa sangat senang bila diwawancarai wartawan. Menurut mereka, bila hasil wawancara tersebut disiarkan kepada khalayak, nama mereka juga akan dikenal khalayak. Semakin sering mereka diwawancarai wartawan, semakin populerlah mereka. Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan. Tidak heran bila wartawan berada “di atas angin” ketika berhadapan dengan mereka.
Lalu, dimana posisi wartawan yang sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum dari narasumber. Mereka bebas menanyakan apa saja kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang menyebabkan mereka mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber. Mereka haurs mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir, memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59). Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.
Menurut para ahli, terdapat tujuh jenis wawancara, yaitu man in the street interview, casual interview, personal interview, news peg interview, telephone interview, question interview dan group interview (Itule dan Andersin 1987:207-213). Operasionalisasinya begini:
Man in the street interview
Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah peristiwa yang sangat penting.
Casual interview
Sebuah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.
Personal interview
Merupakan wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan. News peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara inisering juga disebut information interview.
Telephone interview
Wawancara yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.
Question interview
Wawancara tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini.
Keuntungan wawancara ini adalah: Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti.
Kelemahannya adalah: wartawan tidak bisa mengamati sukap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Group interview
Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara. Contohnya adalah acara “Pelaku dan Peristiwa” TVRI.
Semua jenis wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan baik bila dipenuhi teknik-teknik berikut:
• Menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;
• Memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;
• Mengajukan pertanyaan secara langsung dan tepat;
• Tidak malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan
• Mengajukan pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.
3. Konferensi Pers
Pernyataan yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental. Tetapi, tidak jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Menteri Luar Negeri, yang berlangsung seminggu sekali. Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan konferensi pers. Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.
4. Press Release
Bisa diartikan sebagai siaran pers yang dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah sebabnya media massa cetak yang besar, seperti “Kompas” tidak mau memuat siaran pers ini. Tidak ada keharusan bagi wartawan untuk memuat siaran pers ini. Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers. Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber. Sedangkan pada konferensi, ada.
Tugas 1:
a. Bacalah berita yang saya tulis untuk Berita KAGAMA berikut :
Pasca Munas, KAGAMA Makin Bersinar
Banjarmasin, BK
Di ruang Kapuas, Hotel Barito Palace, Banjarmasin, Selasa 3 Agustus 1993, pukul 18.00 WITA, Soepriyadi, SH., juru bicara tim formatur, mengumumkan susunan Dewan Pembina KAGAMA dan Pengurus Pusat Harian (PPH) KAGAMA 1993-1997. Ketua Dewan Pembina adalah Rektor Universitas Gadjah Mada. Sedangkan ketua PPH KAGAMA 1993-1997 adalah Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH (Susunan anggota lengkap Dewan Pembina dan PPH KAGAMA bisa dilihat pada boks). Peserta Munas VII KAGAMA memberikan tepukan tangan yang meriah kepada pengurus terpilih. Mereka menilai, kepengurusan ini memberikan isyarat bahwa KAGAMA akan makin bersinar pada masa mendatang, terutama menyangkut keberpihakan kepada masyarakat kecil.
Disebutkan makin bersinar, karena hampir semua sekretaris PPH KAGAMA adalah orang yang sangat peduli dengan kepentingan rakyat kecil dan lingkungan. Dr. Ir. Sunjoto, Dip.HE.,DEA misalnya, adalah pemrakarsa sistem drainase air hujan berwawasan lingkungan dan Koordinator Proyek Sistem Pemantauan Limbah Jarak Jauh. Dr. Ir. Koensatwanto Inspasiharjo, Dip.HE.,M.Sc adalah Kepala Laboratorium Teknik Sipil Tradisional, yang menghasilkan teknologi sederhana untuk solusi penyehatan lingkungan rumah terapung. Ir. Gunung Radjiman, M.Sc adalah Ketua Kelompok Kerja Pemukiman KAGAMA Berwawasan Lingkungan. Sedangkan Ir. Gatot Murdjito, M.S adalah Kepala Pusat Pengelola KKN UGM.
Secara kebetulan yang duduk di Dewan Pembina KAGAMA adalah mantan Ketua PPH KAGAMA, Menteri Kehutanan RI, Mantan Dubes RI untuk Inggris, Ketua Yayasan KAGAMA dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan. Mereka tentu dapat memberikan masukan kepada PPH KAGAMA agar lebig memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Secara organisator, PPH KAGAMA hanya bertanggungjawab kepada Munas. Tetapi, menurut Pasal 5 Anggaran Dasar (AD) KAGAMA hasil Munas VII, PPH KAGAMA wajib menyampaikan laporan kegiatan Dewan Pembina KAGAMA, paling tidak setahun sekali.
Program Kerja
Selain memilih dan mengesahkan Dewan Pembina KAGAMA dan PPH KAGAMA 1993-1997, Munas VII KAGAMA, dengan tema “Peningkatan Sumber Daya Manusia Sebagai Faktor Strategis Pembangunan Nasional”, yang berlangsung dari 1 sampai 3 Agustus 1993, juga menetapkan program kerja PPH KAGAMA 1993-1997. Menurut Prof.. Koesnadi, program yang dihasilkan Munas ini adalah usaha konkret untuk meningkatkan partisipasi yang lebih aktif dari para anggota KAGAMA sebagai individu maupun bersama-sama dalam wadah KAGAMA. Karena itu, program ini cukup lengkap, mulai dari konsolidasi organisasi, program intern hingga program ekstern.
Konsolidasi organisasi bertujuan untuk pemantapan organisasi. Dalam penjabarannya, program ini menegaskan kembali langkah yang perlu dilakukan untuk konsolidasi organisasi daerah dan cabang; pelaksanaan dan penertiban herregistrasi; usaha penarikan uang pangkal, uang iuran dan dana lain yang sah; sekretariat KAGAMA serta komisariat fakultas.
Program intern bertujuan untuk pemantapan organisasi KAGAMA. Program ini meliputi pembinaan komunikasi dengan alumni UGM, sistem distribusi dan pendanaan “Berita KAGAMA”, pembinaan hubungan dengan almamater, pembinaan sarana fisik, peningkatan kesejahteraan alumni, penjaringan bibit unggul daerah, pembinaan generasi penerus KAGAMA, pengerahan dana, dana pemeliharaan fakultas, pembangunan pemukinan KAGAMA berwawasan lingkungan di Yogyakarta dan peningkatan kemampuan ilmiah anggota KAGAMA.
Melalui program yang terakhir ini, PPH KAGAMA berniat untuk mendorong dan membantu anggota KAGAMA untuk mengikuti program S2 dan S3 di UGM. Salah satu hasil dari program ini adalah berhasilnya Muh. Muhtadi, sekretaris III PPH KAGAMA 1989-1993, yang berasal dari KAGAMA daerah DKI Jaya, mencapai gelar doktor di bidang sosiologi di UGM, 1 Mei lalu.
Sedangkan pelaksanaan program ekstern adalah dalam rangka peningkatan pengabdian KAGAMA kepada masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan. Ia dimulai dengan peningkatan hubungan kerjasama KAGAMA dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga swasta. Yang termasuk baru, adalah peningkatan hubungan kerjasama KAGAMA dengan alumni perguruan tinggi lain. Kendati program ini tidak termasuk dalam saran Prof. Koesnadi untuk program kerja PPH KAGAMA 1993-1997, Munas menganggap program ini penting, sehingga menetapkannya sebagai salah satu program ekstern.
Mengusahakan Regenerasi
Jauh hari sebelum Munas berlangsung, Prof. Kesnadi beberapa kali melontarkan keinginannya agar Munas VII KAGAMA di Banjarmasin tidak memberikan mandat kepadanya untuk memimpin PPH KAGAMA periode1993-1997. Ia, yang telah menjadi ketua umum PPH KAGAMA selama dua periode, hanya mau memimpin PPH KAGAMA selam dua tahun lagi. Dalam dua tahun tersebut ia akan mendampingi ketua terpilih untuk dua tahun berikutnya.
Hal ini direalisasikan Prof. Koesnadi dalam saran perubahan AD/ART yang dibagikan kepada seluruh peserta Munas. Dalam saran tersebut disebutkan, untuk Pasal 8 AD ditambahkan dua ayat baru, yaitu ayat (4) “Ketua Umum Terpilih sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) memangku jabatannya 2 (dua) tahun setelah pemilihan dan dalam waktu 2 (dua) tahun itu mendampingi Ketua Umum yang masih menjabat” dan ayat (5), “Ketua Umum Terpilih menjadi formatur tunggal dalam penyusunan keanggotaan Pengurus Pusat Harian untuk masa 4 (empat) tahun yang dimulai sejak berakhirnya masa pendampingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)”.
Tetapi Munas menolak saran Prof. Koesnadi tersebut. Munas masih ingin memakai sistem pemilihan yang lama. Tim formatur pun masih memilih Prof. Koesnadi sebagai Ketua Umum KAGAMA 1993-1997. Prof. Koesnadi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. “Saya sudah ingin menyerahkan jabatan Ketua Umum KAGAMA kepada yang lebih muda. Tetapi, berhadapan dengan banyak pihak yang menginginkan saya tetap menjadi ketua, saya jadi collapse,” ujar Prof.
Koesnadi mengomentari terpilihnya ia sebgai Ketua Umum KAGAMA 1993-1997.
Lalu bagaimana persoalan regenerasi? Prof. Koesnadi tetap dengan programnya semula, mengusahakan regenerasi. Ia sengaja memasukkan orang-orang yang masih muda dalam PPH KAGAMA 1993-1997. Sudah begitu, seperti yang ditirukan Dr. Hadori Yunus, ketua II PPH KAGAMA 1993-1997, Prof. Koesnadi ingin memasukkan orang-orang muda ke dalam keempat seksi yang melengkapi PPH KAGAMA, “Setiap seksi akan diketuai oleh orang muda yang sangat profesional di bidangnya, “ujar Dr. Hadori Yunus menyampaikan keiginan Prof. Koesnadi.
Tetap Kokoh
Hingga wisuda sarjana UGM periode Mei 1993, KAGAMA beranggotakan lebih dari 61.000 orang. Ikatan batin dan rasa kekeluargaan di antara mereka, seperti kata Rektor UGM, Prof. Dr. Ir. Mochamad Adnan sangat erat. Karena itu, Prof. Adnan yakin kondisi ini bisa menjadi potensi yang besar untuk mengangkat nama Universitas Gadjah Mada, serta berperan besar pada pembangunan nusa dan bangsa.
Secara geografis, wilayah organisasi KAGAMA di bagi ke dalam pengurus pusat, pengurus daerah, pengurus cabang, pengurus komisariat dan pengurus cabang khusus. Pada Munas VII KAGAMA di Banjarmasin ini, setiap pengurus wilayah KAGAMA tersebut di atas memperoleh satu hak suara. Menurut catatan ”BK”, jumlah peserta yang berhak memberikan suara adalah 140 orang. ”Ini sudah melebihi 2/5 dari jumlah yang seharusnya ada.”tambah Prof. Koesnadi. Dengan begitu, hasil Munas ini sah. Bukankah pasal 30 ayat (1) AD KAGAMA menyebutkan bahwa segala keputusan persidangan/musyawarah adalah sah jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/5 jumlah yang diundang.
Kendati tidak semua pengurus daerah dan cabang yang datang ke Banjarmasin, hal ini tidak mengurangi kekokohan KAGAMA. ”KAGAMA tetap kokoh,” ujar Drs. H.M. Thamrin Asan, Apt., Ketua Pelaksana Munas VII KAGAMA. Semua peserta Munas VII KAGAMA bersama-sama dnegan anggota KAGAM Daerah Kalimantan Selatan berusaha keras mensukseskan Munas VII
KAGAMA, beberapa daerah spontan mengajukan diri, yaitu Medan, Pekanbaru/Batam, Padang dan Palembang. Meskipun biaya Munas cukup besar, pengurus daerah tersebut tidak keberatan bila daerahnya terpilih untuk tempat Munas yang akan datang.
Indikator kekokohan yang lain adalah kerendahan hati pengurus KAGAM daerah untuk menyerahkan program yang telah dirintisnya kepada PPH KAGAMA. Hal ini bisa terlihat dari keinginan pengurus KAGAMA DKI untuk menyerahkan pengelolaan Universitas Satya Gama kepada PPH KAGAMA. Pdahal yang mendirikan universitas ini adalah Yayasan Satya Gama, yang bernaung di bawah KAGAMA DKI Jaya.
Andaikata tidak ada peraturan dari Depdikbud yang menyatakan bahwa setiap Perguruan Tinggi Swasta (PTS) harus dikelola oleh yayasan di lokasi PTS itu beroperasi, Universitas Satya Gama sudah dikelola oleh PPH KAGAMA. Dengan peraturan ini, kini PPH KAGAMA hanya ikut tut wuri handayani saja.
Kualitas Munas
Sebelum Gubernur Kalimantan Selatan, Ir. H.M. Said, menutup dengan resmi Munas VII KAGAMA, di Grand Palace International restaurant, 8 Agustus malam, secara berkelakar ia menyampaikan pesan, kalau terdapat pelayanan yang kurang memuaskan dari pelayan hotel tempat peserta menginap dan tempat rangkaian acara Munas berlangsung, itu semata-mata karena permohonan potongan harga yang terlalu tinggi dari panitian. ”Kalau Bapak dan Ibu datang secara pribadi ke sini, pasti pelayanannya lebih memuaskan, ”tambah Ir. H.M. Said. Apakah ini berarti kualitas Munas VII KAGAMA lebih jelek ketimbang Munas VI KAGAMA di Denpasar? Menurut Prof. Koenadi, terjadi peningkatan kualitas Munas dari waktu ke waktu. Disebutkan, Munas VI KAGAMA di Bali memperkenalkan tradisi baru, yaitu: pejabat yang membuka dan menutup secara resmi Munas KAGAMA adalah Gubernur kepala daerah tempat Munas berlangsung. KAGAMA tidak perlu meminta pejabat pusat untuk menutup dan
membuka Munasnya.
Munas VII KAGAMA di Banjarmasin, menurut Prof. Koesnadi, juga memperkenalkan tradisi baru, yaitu penyerahan proyek pengabdian masyarakat KAGAM untuk masyarakat tempat Munas berlangsung. Proyek yang diserahkan PPH KAGAMA kepada masyarakat Banjarmasin, yang diwakili Walikota Banjarmasin, 1 Agustus lalu, di desa Kuin, terdiri dari tiga sumur bor Tripikon, satu tangki septik pasang surut pipa PVC, satu tangki septik pasang surut drum, dan satu tangki septik pasang surut apung. ”Tradisi baru ini, akan dilanjutkan pada Munas KAGAMA berikutnya,” ujar Prof. Koesnadi.
Dengan kenyataan ini, orang bisa menyimpulkan bahwa Munas VII KAGAMA cukup berkualitas. Yang diperlukan sekarang adalah kesungguhan hati PPH KAGAMA dalam melaksanakan semua keputusan Munas VII KAGAMA.
Setelah itu, identifikasilah teknik mengumpulkan fakta yang saya gunakan dalam memperoleh fakta dan data yang saya ungkapkan dalam berita tersebut.
b. Bandingkan hasil identifikasi tersebut dengan hasil identifiasi teman Anda yang lain.

Teknik Mem-framing Berita

1. Makna framing
Sesungguhnya framing berita merupakan perpanjangan dari teori agenda setting, yaitu semacam teknik yang dipakai wartawan untuk melahirkan wacana yang akan ditangkap oleh khalayak. Secara praktis, framing bisa dilihat dari cara wartawan memilih dan memilah bagian dari relaitas dan menjadikannya bagian yang penting dari sebuah teks berita (Scheufele, 1999:107). Dengan kata lain, framing berita menyangkut seleksi beberapa aspek dari realitas sosial dan menjadikannya menonjol dalam sebuah berita, teriring harapan tertangkapnya wacana yang sedang diinginkan wartawan.Secara teknis, tidak mungkin bukti bahwa seorang wartawan untuk mem-framing seluruh bagian dari berita. Hanya bagian dari kejadian-kejadian (happening) penting saja yang menjadi objek framing wartawan. Tetapi, bagian-bagian kejadian (happening) penting ini sendiri merupakan salah satu aspek yang sangat ingin diketahui khalayak. Aspek lainnya adalah, peristiwa atau ide yang diberitakan. Kalai bisa, khalayak memang perlu mengetahui teknik yang dipakai wartawan dalam mem-framing berita. Dengan pengetahuan itu, mereka akan jadi kritis ketika memaknai berita. Tetapi, bagi penulis berita, pengetahuan tentang teknik yang dipakai dalam mem-framing berita merupakan satu keharusan. Teknik yang biasa dipakai adalah: (i) defining problem, mendefinisikan masalah dengan pertimbangan-pertimbangan yang sering kali didasari oleh nilai-nilai kultural yang berlaku umum; (ii) diagnosing causes, mendiagnosis akar permasalahan dengan mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam permasalahan; (iii0 making judgement, memberikan penilaian moral terhadap akar permasalahan dan efek yang ditimbulkan; dan (iv) suggesting remedies, menawarkan solusi dengan menunjukkan perlakuan
tertentu dan dugaan efek yang mungkin terjadi.
Setelah itu, penulis berita perlu juga mengetahui pengakat yang bisa dipakai dalam proses framing adalah: (i) struktur sintaksis, yaitu penonjolan aspek yang dianggap penting pada judul, lead dan penutup berita; (ii) struktur skriptual, yaitu menghadirkan komponen kejadian yang memenuhi nilai berita; (iii) struktur tematis, yaitu menghadirkan ide dalam kalimat yang menguntungkan frase “sebab”, “karena”, dan “karena itu”; dan (iv) struktur retoris, yaitu memaknai metafor, contoh-contoh historis (exemplars), kata kunci, dan konotasi (depiction).
2. Manfaat framing
Apakah para wartawan akan menangis bila khalayak tidak memaknai berita sesuai dengan framing mereka? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung dari penghayatan para wartawan terhadap tugas dan kewajiban mereka. Bagi seorang wartawan yang sadar persis bahwa tugasnya adalah mengidentifikasi persoalan yang ada dalam masyarakat dan berperan serta menyelesaikan masalah tersebut lewat wacana yang dia ciptakan, maka dia akan sedih bila khalayak tidak bersikap apa-apa setelah membaca berita yang ditulisnya. Untuk mengantisipasi itulah dia tidak hanya berhenti pada penulisan berita saja. Dia akan amati apa yang terjadi pada khalayak setelah membaca berita yang ditulisnya. Sebaliknya, bagi seorang wartawan yang hanya bekerja untuk mencari penghidupan semata, tugasnya akan berhenti begitu dia selesai menulis sebuah berita.
Bila diamati lebih dalam lagi, sebenarnya framing terdiri dari atas dua jenis, yaitu framing media dan framing individu. Framing media dilakukan oleh wartawan dan framing individu dilakukan oleh khalayak. Mengenai yang terakhir ini, ia akan menjadi dasar bagi khalayak untuk melakukan interpretasi selektif dari pesan yang disampaikan berita. Bagi khalayak, posisi framing individu merpakan kondisi mental dan cetusan ide yang membimbing individu memproses informasi. Dari framing individu inilah khalayak menangkap wacana yang disampaikan wartwan.
Kalau ada khalayak yang tidak mem-framing berita sesuai dengan framing yang diharapkan wartawan, itu sebenarnya di luar kemampuan wartawan. Kendati begitu, tidak ada salahnya wartawan memahami kognisi sosial khalayak mengenai sebuah isu. Dengan pemahaman itu, wartawan bisa mem-framing berita yang pada gilirinnya bisa di-framing khalayak sesuai dengan harapan wartawan.
Kenyataan di atas merupakan satu bukti bahwa framing media yang dilakukan wartawan dipengaruhi oleh beberapa variabel. Selain kognisi sosial, variabel lain yang mempengaruhi wartawan mem-framing berita adalah ideologi dan struktur sosial. Karena itu, bagaimana wartawan mem-framing berita menjadi variabel terikat (dependent variable). Pada titik ini bisa disebut bahwa wartawan tidak begitu saja mem-framing berita.
3. Pedoman framing
Bila seorag wartawan ingin mem-framing berita, ia harus mengingat kaidah jurnalistik yang paling elementer, seperti nilai berita, framing berita, layak berita dan bias berita. Artinya, dia harus tetap mematuhi semua kaidah itu dengan penahanan diri. Setelah mematuhi kaidah itulah ia baru melakukan framing terhadap berita.
Ada tiga bagian berita yang bisa menjadi objek framing seorang wartawan. Pertama, judul berita. Judul berita, sering kali di framing dengan menggunakan metode emapti, yaitu menciptakan ”pribadi khayal” dalam diri khalayak. Sebagai contoh, khalayak dianggapkaqn menempatkan diri mereka seperti korban kerusakan lingkungan hidup atau bagian dari satu masyarakat yang tidak bisa hidup dengan nyaman, sehingga mereka bisa merasakan kepedihan yang luar biasa. Berdasarkan perasaan ini, mereka akan menjadi sangat ”keras” pada pelaku kerusakan lingkungan hidup, baik yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka maupun yang tidak langsung (sebagai manifestasi berpikir global, bertindak lokal). Untuk itu, perlu dirumuskan judul berita lingkungan hidup yang menceritakan kerusakan lingkungan hidup, seperti Asap membawa puluhan korban, Hancurnya lingkungan hidup alam di Rinjani, dan sebagainya.
Kedua, fokus berita. Fokus berita biasanya diframing orang dengan metode asosiasi, yaitu ”menggabungkan” kebijakan yang aktual dengan fokus berita. Sebagai contoh misalnya kebijakan yang dimaksud adalah pemeliharaan lingkungan hidup yang sedang diusahakan berbagai pihak. Dengan ”menghubungkan” kebijakan tersebut dalam fokus berita, khalayak akan memperoleh kesadaran bahwa masih ada kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di berbagai daerah di seantero Indonesia, sekalipun usaha untuk mengurangi kerusakan lingkungan hidup. Untuk itu, wartawan perlu mengetahui secara persis kondisi riil pencegahan kerusakan lingkungan hidup.
Fokus berita, dalam praktek sehari-hari, adalah fakta yang menjawab pertanyaan what. Fakta inilah yang kemudian ”digabungkan” dengan berbagai kebijakan yang sedang dilakukan oleh berbagai pihak (terutama pemerintah), seperti tentang pemakaian pestisida, arah industri, pemakaian pupuk, pemukiman peladang berpindah serta perambah hutan, dan sebagainya.
Ketiga, penutup berita. Penutup berita bisa di-framing dengan menggunakan metode packing, yaitu menjadikan khlayak tidak berdaya untuk menolak ajakan yang dikandung berita. Sebagai contoh, dalam berita lingkungan hidup, apapun inti ajakan, khalayak menerima sepenuhnya. Sebab, mereka tidak berdaya sama sekali untuk membantah kebenaran yang direkonstruksikan oleh berita seperti; (1) bagi orang yang pernah datang ke Simalanggang 20 tahun lalu, daerah itu menjadi tempat yang sangat nyaman untuk tinggal. Di samping lingkungan alamnya yang masih hijau, airnya sangat jernih dan tanahnya sangat subur. Sayang, sekarang Simalanggang sangat kotor: sampah menumpuk di berbagai pojok dan tikus berkeliaran. Airsudah tidak bersih lagi. Kesuburan tanah berkurang. Semua itu terjadi gara-gara pembangunan berbagai industri yang tidak peduli dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Itulah sebabnya izin semua industri di Simalanggang perlu ditinjau lagi; dan (2) Ia melongo menyadari aliran sungai macet, tanah longsor di beberapa tempat dan air mulai menggenangi pekarangan rumah penduduk. Mulutnya tiba-tiba terkatup rapat. Ia tidak yakin bahwa ekosistem hutan kawasan Gunung Singgalang telah rusak. Tetapi, itulah yang terjadi.
Mendadak sontak ia merasa malu memiliki kampung di kaki Gunung Singgalang. Ia lebih malu lagi pada diri orang tuanya. Ternyata yang slema ini ia banggakan dan sayangi, sudah merusak lingkungan lewat eksploitasi hutan di sekitar Gunung Singgalang. Jangan heran bila ia mendukung protes masyarakat terhadap perusahaan milik orang tuanya yang memperoleh izin
mengeksploitasi hutan di sekitar Gunung Singgalang tersebut.
Jika setiap hari pers Indonesia membombardir khalayak dengan judul-judul berita lingkungan hidup yang menggambarkan kerusakan lingkungan hidup, fokus berita yang juga menunjukkan bahwa kebijakan tentang pemeliharaan fungsi lingkungan hidup masih tidak terealisasikan dengan baik, serta penutup berita yang mengajak khalayak untuk memerangi kerusakan lingkungan hidup, lama-kelamaan akan muncul dorongan dalam diri khalayak untuk ikut berpartisipasi dalam memelihara fungsi lingkungan hidup sehingga bisa diwariskan kepada generasi mendatang dalam keadaan yang sama dengan sekarang atau bisa lebih baik lagi.
4. Praktek framing
Tugas 3:
Identifikasilah: (i) ide framing; (ii) bagian berita yang memperoleh framing; dan (iii) perangkat framing yang terdapat dalam contoh berita yang disiarkan Tempo, 21-27 Februari 2005 berikut:
SKENARIO YANG BERUBAH
Presiden melantik para Kepala Staf Angkatan yang baru.
Peluang Ryamizard menjadi Panglima TNI semakin kecil.
Pengucapan sumpah jabatan itu baru saja usai. Presiden Susilo Bambang Yudhono pun sedang menyalami para Kepala Staf Angkatan baru. Namun, Jendral Ryamizard Ryacudu seolah tak sabar. Dari barisan di sisi kiri ruangan Istana Negara ia bergegas melangkah menyalami presiden, dan berbicara sejenak. Cuma sebentar. Setelah itu, Yudhoyono menyalami undangan yang lain.
Usai acara, Ryamizard mengaku melaporkan rencana keberangkatannya ke Aceh. ”Teruskan dulu ke Aceh”, katanya, mengutip tanggapan presiden. Sang jendral ingin meneruskan program Tentara Masuk Desa (TMD), yang beberapa waktu lalu dimulainya. ”Saya tak ingin meninggalkan pekerjaan rumah”, ujarnya.
Jumat pagi itu, Ryamizard memang jadi bagian perhatian. Sebelum acara, beberapa kali ia mencoba bercanda dengan Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto, Laksamana Bernard Kent Sondakh, dan Marsekal Chappy Hakim. Tapi, sejurus kemudian ia terdiam. Pergantian Kepala Staf Angkatan diumumkan Kamis pekan lalu. Kursi KSAD yang diduduki Ryamizard kini diserahkan kepada Letnan Jendral Djoko Santoso. KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh digantikan Laksamana Madya Slamet Soebijanto, dan KSAU Marsekal Chappy Hakim digantikan Marsekal Madya Djoko Suyanto. ”Pengajuannya mulus, tak ada perdebatan segala macam”, kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin.
Penunjukkan Djoko Santoso sebenarnya tak mengejutkan. Sejak akhir tahun lalu namanya sudah ”tayang” di bursa calon KSAD. Ia dianggap lebih unggul, terutama dari sisi kinerja dan usia, dibandingkan tiga calon lain: Pangkostrad Letjen Hadi Waluyo, Inspektur Jendral TNI AD Letjen Djaja Soeparman, dan Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD Letjen Cornel Simbolon. Djoko dinilai punya kans lebih besar. ”Dia cukup dekat dengan Presiden”. Kata pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies, Kusnanto Anggoro. Lulusan Akabri Darat 1975 itu pernah menjadi Wakil Asisten Sosial Politik semasa Yudhoyono menjadi Kepala Staf Sosial Politik maupun Kepala Staf Teritorial TNI.
Naiknya Slamet Soebijanto pun dianggap wajat. Putra Mojokerto, Jawa Timur, itu dikenal sebagai perwira karier yang matang di laut. Beberapa kali ia menjadi komandan kapal perang, dan terakhir jadi Panglima Komando Armada Timur sebelum menjabat Wakil Gubernur Lemhanas. Meski berbeda jurusan, di tingkat satu mereka sama-sama dididik di Magelang. Cerita Djoko Suyanto mungkin agak beda. Selama ini publik hanya mengetahui dua perwira tinggi berbintang tiga yang diajukan TNI AU kepada Presiden, yakni Wakil KSAU Marsdya Herman Prayitno dan Kepala Staf Umum TNI Laksda Wartoyo. Tapi karena kedua opsir itu hampir pensiun, Asisten Operasi KSAU yang masih berbintang dua ini dinaikkan pangkatnya satu jam sebelum pengumuman mutasi. Marsekal Muda paling senior di TNI AU ini pun kawan seangkatan Presiden Yudhoyono di Akabri 1973.
Meski teka-teki pergantian kepala-kepala staf telah terkuak, masih tersisa pertanyaan di sekitar calon-calon kepala staf pada 7 Februari lalu, Sutarto kembali mengajukan usul pergantian jabatan Panglima TNI kepada Presiden Yudhoyono. ”Isinya persis seperti yang pernah tiga kali diajukannya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dulu”, kata Sjafrie.
Soal pergantian jabatan Panglima tni sebenarnya sudah diatur dalam pasal 13 ayat 4 Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI. Menurut aturan itu, calon Panglima TNI adalah perwira-perwira tinggi yang masih menjabat maupun mantan Kepala Stafd Angkatan. Jadi selain para kepala staf yang baru, Ryamizard masih punya peluang untuk menduduki kursi ””Cilangkap 1”.”Chappy dan Kent tak punya peluang karena mereka berdua sudah
diperpanjang masa jabatannya. ”Pak Ryamizard belum masuk usia pensiun”,
kata Sutarto. Tahun lalu sebtulnya sempat tersiar kabar bahwa Kent akan menggantikan Sutarto. Namun, setelah Sutorto tiga kali mengajukan permintaan pergantian posisi Panglima TNI, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri malah mengajukan nama Ryamizard ke DPR. Proses pembahasannya di DPR tertunda karena surat itu diajukan sebelum Mega turun.
Dua bulan lalu, Yudhoyono mangaku tak ada masalah dengan Ryamizard berkaitan dengan penarikan surat Mega ke DPR. Tapi, skenario Istana tampaknya telah berubah. ”Tarto akan dipertahankan sampai beberapa bulan, ekmudian nanti Djoko Santoso yang naik menggantikannya”, kata seorang perwira tinggi. Jika itu terjadi, Ryamizard hanya menanti masa pensiun, 21 April nanti.
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi pun telah mengungkapkan secara tersirat ketika ditanya tentang nama-nama calon Panglima TNI yang akan diajukan Presiden ke DPR. ”Yang jelas, sebelum ada pergantian, Panglima TNI tetap dijabat Jendral Endriartono Sutarto”, katanya. Adapun calon yang akan diajukan ke DPR, menurut Sudi, akan dilihat dari kinerja tiga kepala staf yang baru.
Anggota DPR dari komisi Pertahanan, Djoko Susilo, menyarankan Yudhoyono tetap mengajukan Ryamizard Ryacudu sebagai calon Panglima TNI utnuk menjabat selama setahun. Hal ini sekaligus untuk membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada masalah di antara mereka. ”Kalau Ryamizard tidak jadi, kan berarti Yudhoyono memang sedang memainkan bandul politik TNI”, katanya. Mantan Kepala Staf Teritorial Letjen Purn. Agus Widjojo, juga menganjurkan pemerintah meninjau kembali skenario menaikkan Djoko Santoso menjadi Panglima TNI. ”Alangkah cantiknya dia (SBY-Red) jika Panglima TNI nanti giliran TNI AU”, katanya.
Hingga kini memang belum pernah seorang perwira tinggi TNI AU menjabat panglima TNI. Tapi, pengamat militer M.T. Arifin tidak yakin Yudhoyono bakal mengubah skenario yang telah lama dirancangnya. ”Yudhoyono pasti menginginkan posisi yang paling safe untuk dirinya dengan memilih Djoko Santoso”, ujarnya.
Namun, seorang bekas anggota tim sukses Yudhoyono mengaku agak heran jika Presiden berani melawan arus dengan menaikkan Djoko Santoso sebagai Panglima TNI. Sebab, selain didukung Wakil Presiden Jusuf Kalla. ”Dia bukan tipe melawan arus dan tak akan berani sendirian menaikkan Djoko”, ujarnya. Ia menduga ada pihak lain yang mendorong Yudhoyono mengambil keputusan itu.
Ryamizard sendiri sebenarnya mengaku gembira atas diangkatnya Djoko Santoso sebagai kader yang baik. Namun, tampaknya ia sadar, jalan menuju kursi Panglima TNI kini kian terjal. ”Kalau maunya pemerintah begitu, ya sudah”, katanya. ”Kalau jadi Panglima TNI syukur, kalau enggak
yan enggak apa-apa. Jabatan itu kan urusan Tuhan”. (Hanibal W. Y. Wijayanta, Bernarda Rurit, Abdul Manan).
www.infojawa.org

sejarah jurnalist di indonesia

BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) (“PR”, 23 Agustus 2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
Teknologi dalam jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara maju seperti AS, Prancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi– sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh, selang sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu aliran listrik dan telefon belum tersambung. (Zaky/”PR”)***

dasar dasar jurnalistik

oleh : Kris Budiman
1. Jurnalistik
Jurnalistik (journalistiek, Belanda) bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Ditelusur dari akar katanya (diurma ‘harian’, Latin; jour ‘hari’, Prancis), jurnalistik adalah kegiatan membuat laporan harian, mulai dari tahap peliputan sampai dengan penyebarannya. Jurnalistik sering disebut juga sebagai jurnalisme (journalism). Berdasarkan media yang digunakannya, jurnalistik sering dibedakan menjadi jurnalistik cetak (print journalism) dan jurnalistik elektronik (electronic journalism). Beberapa tahun belakangan ini muncul pula jurnalistik online (online journalism).

Di samping jurnalistik atau jurnalisme dikenal pula istilah pers (press). Dalam pengertian sempit
pers adalah publikasi secara tercetak (printed publication), melalui media cetak, baik suratkabar, majalah, buletin, dsb. Pengertian ini kemudian meluas sehingga mencakup segala penerbitan, bahkan yang tidak tercetak sekalipun, misalnya publikasi melalui media elektronik semacam radio dan televisi. Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa jurnalistik tercakup sebagai bidang kegiatan pers; sementara tidak semua kerja pers tercakup sebagai jurnalistik. Walaupun begitu, sering kali keduanya dipersamakan atau dicampuradukkan.
2. Berita
Lalu, apa itu berita?
Berita (news) adalah laporan mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang terbaru (aktual);
laporan mengenai fakta-fakta yang aktual, menarik perhatian, dinilai penting, atau luar biasa. Kecuali itu, masih banyak batasan lain mengenai berita. Beberapa batasan yang sudah sangat terkenal, sehingga perlu kita ketahui juga, adalah
 






5. Unsur-Unsur Berita
Khususnya bagian tubuh berita dan teras (bila ada) diharapkan hanya mengandung unsur-unsur yang berupa fakta, unsur-unsur faktual, dengan meminimalkan unsur-unsur non-faktual yang berupa opini. Apa yang disebut sebagai “fakta” di dalam kerja jurnalistik terurai menjadi enam unsur yang biasa diringkas dalam sebuah rumusan klasik 5W + 1H.
(1) What – apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
(2) Who – siapa yang terlibat di dalamnya?
(3) Where – di mana terjadinya peristiwa itu?
(4) When – kapan terjadinya?
(5) Why – mengapa peristiwa itu terjadi?
(6) How – bagaimana terjadinya?
Baca: “Pasar Keuangan Bereaksi Positif”, “Saling Lempar Tanggung Jawab”, dan “Nepal: 35.000 Orang Berdemo”
6. Jenis-Jenis Berita
Berita dalam pengertian di atas secara lebih spesifik dinamakan sebagai straight news. Straight news yang berisi laporan peristiwa politik, ekonomi, masalah sosial, dan kriminalitas, sering disebut sebagai berita keras (hard news). Simak sekali lagi ketiga contoh berita di atas. Sementara straight news tentang hal-hal lain semisal olahraga, kesenian, hiburan, hobi, elektronika, dsb., dikategorikan sebagai berita ringan atau lunak (soft news). Mengenai berita lunak ini, silakan Anda mencari contohnya sendiri. Di samping itu dikenal juga jenis berita yang dinamakan feature, berita kisah. Jenis ini lebih bersifat naratif, berkisah mengenai aspek-aspek insani (human interest). Berbeda dengan penulisan straight news, sebuah feature tidak menerapkan teknik piramida terbalik dan tidak terlalu terikat pada nilai-nilai berita dan faktualitas.
Baca: “Pengabdi dan Pilar Kebudayaan Keraton” atau “Dua Abdi Dalem ‘Ex Officio’”
Ada lagi yang dinamakan berita investigatif (investigative news; kerjanya disebut sebagai investigative reporting), yang merupakan hasil penyelidikan seorang atau satu tim wartawan secara lengkap dan mendalam dengan lebih mengedepankan unsur why dalam pelaporannya.
Contohnya bisa dicari dengan mudah di majalah berita sejenis Tempo dll. Di televisi juga bisa ditemukan di dalam program semacam Fakta, Kupas Tuntas, dsb.
7. Opini
Di dalam sebuah media massa cetak, khususnya suratkabar dan majalah berita, biasa kita temukan juga halaman khusus yang diperuntukkan bagi karangan-karangan yang berupa opini. Karangan-karangan ini di dalam tradisi jurnalistik biasa dibedakan menjadi tajuk rencana (editorial), artikel opini atau kolom (column), dan surat pembaca. Tajuk rencana berisi opini pihak pengelola suratkabar yang diwakili oleh seorang redaktur, biasanya yang sudah senior, mengenai suatu peristiwa aktual.
Baca: “Disebut Nama Boediono”
Sementara artikel opini atau kolom berisi opini seseorang (bisa orang “dalam”, bisa juga orang “luar”, entah intelektual, praktisi, pakar, mahasiswa, atau apapun) atas persoalan-persoalan yang
dianggap aktual.
Baca: Zubaidah Djohar, “Mendambakan Syariat Islam Humanis”
Terakhir, surat pembaca, sesuai dengan namanya, adalah surat yang dikirimkan oleh pembaca yang berisi komentar, pendapat, atau apapun, mengenai suatu masalah.
Di luar ketiganya, di dalam jurnalistik Indonesia dikenal juga satu jenis karangan opini yang sangat khas, ditulis dalam beberapa kalimat ringkas, pendek, dan “nakal”, sering sebut sebagai pojok, yang ditulis oleh pihak redaktur untuk menyentil beberapa peristiwa aktual. Contohnya, silakan cari sendiri.
Yogyakarta, 09 Desember 2005.

kode etik AJI

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

teknik penulisan berita untuk televisi

Selasa, 26-06-2007 14:46:04
oleh: Satrio Arismunandar

Memilih Format Berita TV:
Berita di media televisi dapat disampaikan dalam berbagai format. Untuk menentukan format mana yang akan dipilih, tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain:Ketersediaan gambar. Jika gambar yang dimiliki sangat terbatas, reporter sulit menulis naskah berita yang panjang. Maka berita dibuat dalam format lebih singkat dan padat, atau dibuat dalam format tanpa gambar sama sekali.Momen terjadinya peristiwa atau perkembangan peristiwa yang akan diberitakan. Perkembangan terkini dari suatu peristiwa baru sampai ke producer, ketika siaran berita sedang berlangsung. Sedangkan perkembangan itu terlalu penting untuk diabaikan. Jika ditunda terlalu lama, perkembangan terbaru pun menjadi basi, atau stasiun TV lain (kompetitor) akan menayangkannya terlebih dahulu. Format-format berita itu antara lain:
Reader. Ini adalah format berita TV yang paling sederhana, hanya berupa lead in yang dibaca presenter. Berita ini sama sekali tidak memiliki gambar ataupun grafik. Hal ini dapat terjadi karena naskah berita dibuat begitu dekat dengan saat deadline, dan tidak sempat dipadukan dengan gambar.
Bisa juga, karena perkembangan peristiwa baru sampai ke tangan redaksi, ketika siaran berita sedang berlangsung. Maka perkembangan terbaru ini pun disisipkan di tengah program siaran. Beritanya dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan berita yang sedang ditayangkan. Reader biasanya sangat singkat. Durasi maksimalnya 30 detik.
Voice Over (VO).Voice Over (VO) adalah format berita TV yang lead in dan tubuh beritanya dibacakan oleh presenter seluruhnya. Ketika presenter membaca tubuh berita, gambar pun disisipkan sesuai dengan konteks isi narasi.
Natsound (natural sound, suara lingkungan) yang terekam dalam gambar bisa dihilangkan. Tetapi, biasanya natsound tetap dipertahankan, untuk membangun suasana dari peristiwa yang diberitakan. Sebelum menulis naskah berita, tentu Reporter harus melihat dulu gambar yang sudah diperoleh, karena tetap saja narasi yang ditulis harus cocok dengan visual yang ditayangkan. VO durasinya sangat singkat (20-30 detik).
Voice Over – Grafik. VO-Grafik adalah format berita TV yang lead in dan tubuh beritanya dibacakan oleh presenter seluruhnya. Namun, ketika presenter membaca tubuh berita, tidak ada gambar yang menyertainya kecuali hanya grafik atau tulisan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan karena peristiwa yang diliput sedang berlangsung dan redaksi belum menerima kiriman gambar peliputan yang bisa ditayangkan.
Sound on Tape (SOT).Sound on Tape (SOT) adalah format berita TV yang hanya berisi lead in dan soundbite dari narasumber. Presenter hanya membacakan lead in berita, kemudian disusul oleh pernyataan narasumber (soundbite).
Format berita ini dipilih jika pernyataan narasumber dianggap lebih penting ditonjolkan daripada disusun dalam bentuk narasi. Pernyataan yang dipilih untuk SOT sebaiknya yang amat penting atau dramatis, bukan yang datar-datar saja. Format SOT ini bisa bersifat sebagai pelengkap dari berita yang baru saja ditayangkan sebelumnya, atau bisa juga berdiri sendiri. Durasi SOT disesuaikan dengan kebutuhan, tapi biasanya maksimal satu menit.
Voice Over – Sound on Tape (VO-SOT). VO-SOT adalah format berita TV yang memadukan voice over (VO) dan sound on tape (SOT). Leadin dan isi tubuh berita dibacakan presenter. Lalu di akhir berita dimunculkan soundbite dari narasumber sebagai pelengkap dari berita yang telah dibacakan sebelumnya. Format VO-SOT dipilih jika gambar yang ada kurang menarik atau kurang dramatis, namun ada pernyataan narasumber yang perlu ditonjolkan untuk melengkapi narasi pada akhir berita. Total durasi diharapkan tak lebih dari 60 detik, di mana sekitar 40 detik untuk VO dan 20 detik untuk soundbite.
Package (PKG). Package adalah format berita TV yang hanya lead in-nya yang dibacakan oleh presenter, tetapi isi berita merupakan paket terpisah, yang ditayangkan begitu presenter selesai membaca lead in. Paket berita sudah dikemas jadi satu kesatuan yang utuh dan serasi antara gambar, narasi, soundbite, dan bahkan grafis. Lazimnya tubuh berita ditutup dengan narasi.
Format ini dipilih jika data yang diperoleh sudah lengkap, juga gambarnya dianggap cukup menarik dan dramatis. Kalau dirasa penting, reporter dapat muncul dalam paket berita tersebut (stand up) pada awal atau akhir berita. Durasi maksimal total sekitar 2 menit 30 detik.
Live on Cam. Live on Cam adalah format berita TV yang disiarkan langsung dari lapangan atau lokasi peliputan. Sebelum reporter di lapangan menyampaikan laporan, presenter lebih dulu membacakan lead in dan kemudian ia memanggil reporter, di lapangan untuk menyampaikan hasil liputannya secara lengkap. Laporan ini juga bisa disisipi gambar yang relevan.
Karena siaran langsung memerlukan biaya telekomunikasi yang mahal, tidak semua berita perlu disiarkan secara langsung. Format ini dipilih jika nilai beritanya amat penting, luar biasa, dan peristiwanya masih berlangsung. Jika peristiwanya sudah berlangsung, perlu ada bukti-bukti yang ditunjukkan langsung kepada pemirsa. Durasinya disesuaikan dengan kebutuhan.
Live on Tape (LOT).Live on Tape adalah format berita TV yang direkam secara langsung di tempat kejadian, namun siarannya ditunda (delay). Jadi, reporter merekam dan menyusun laporannya di tempat peliputan, dan penyiarannya baru dilakukan kemudian.
Format berita ini dipilih untuk menunjukkan bahwa reporter hadir di tempat peristiwa. Namun, siaran tak bisa dilakukan secara langsung karena pertimbangan teknis dan biaya. Meski siarannya ditunda, aktualitas tetap harus terjaga. Durasi bisa disesuaikan dengan kebutuhan, namun biasanya lebih singkat dari format Live on Cam.
Live by Phone. Live by Phone adalah format berita TV yang disiarkan secara langsung dari tempat peristiwa dengan menggunakan telepon ke studio. Lead in berita dibacakan presenter, dan kemudian ia memanggil reporter yang ada di lapangan untuk menyampaikan laporannya. Wajah reporter dan peta lokasi peristiwa biasanya dimunculkan dalam bentuk grafis. Jika tersedia, bisa juga disisipkan gambar peristiwa sebelumnya.
Phone Record.Phone Record adalah format berita TV yang direkam secara langsung dari lokasi reporter meliput, tetapi penyiarannya dilakukan secara tunda (delay). Format ini sebetulnya hampir sama dengan Live by Phone, hanya teknis penyiarannya secara tunda. Format ini jarang digunakan, dan biasanya hanya digunakan jika diperkirakan akan ada gangguan teknis saat berita dilaporkan secara langsung.
Visual News. Visual News adalah format berita TV yang hanya menayangkan (rolling) gambar-gambar yang menarik dan dramatis. Presenter cukup membacakan lead in, dan kemudian visual ditayangkan tanpa tambahan narasi apa pun, seperti apa adanya. Format ini bisa dipilih jika gambarnya menarik, memiliki natural sound yang dramatis (misalnya: suara jeritan orang ketika terjadi bencana alam atau kerusuhan, dan sebagainya). Contoh berita yang layak menggunakan format ini: menit-menit pertama terjadinya bencana Tsunami di Aceh.
Vox Pop. Vox pop (dari bahasa Latin, vox populi) berarti “suara rakyat.” Vox pop bukanlah format berita, namun biasa digunakan untuk melengkapi format berita yang ada. Isinya biasanya adalah komentar atau opini dari masyarakat tentang suatu isyu tertentu. Misalnya, apakah mereka setuju jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Jumlah narasumber yang diwawancarai sekitar 4-5 orang, dan diusahakan mewakili berbagai kalangan (tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin, dan sebagainya). Durasi vox pop sebaiknya singkat saja dan langsung menjawab pertanyaan yang diajukan.
Struktur Penulisan Berita TV:
Ada perbedaan besar antara menulis naskah berita untuk didengar (dengan telinga) dan menulis untuk dibaca (dengan mata). Narasi berita televisi yang baik memiliki awal (pembuka), pertengahan, dan akhir (penutup). Masing-masing bagian ini memiliki maksud tertentu.
Awal (pembuka). Setiap naskah berita membutuhkan suatu pengait (hook) atau titik awal, yang memberikan fokus yang jelas kepada pemirsa. Awal dari tulisan memberitahu pemirsa tentang esensi atau pokok dari berita yang mau disampaikan. Hal ini memberi suatu fokus dan alasan pada pemirsa untuk tertarik dan mau menyimak berita yang akan disampaikan.
Pertengahan. Karena semua rincian cerita tak bisa dijejalkan di kalimat-kalimat pertama, cerita dikembangkan di bagian pertengahan naskah. Bagian tengah ini memberi rincian dari Lead dan menjawab hal-hal yang ingin diketahui oleh pemirsa. Untuk memudahkan pemirsa dalam menangkap isi berita, sebaiknya kita membatasi diri pada dua atau tiga hal penting saja di bagian tengah ini.
Akhir (penutup). Jangan akhiri naskah berita tanpa kesimpulan. Rangkumlah dengan mengulang butir terpenting dari berita itu, manfaatnya bagi pemirsa, atau perkembangan peristiwa yang diharapkan akan terjadi.
Rumus 5 C untuk Penulisan Berita di Media TV:
Conversational:
Ketika menulis naskah berita untuk media televisi, kita menulis untuk didengar. Ingat, televisi adalah media audio-visual, bukan media cetak. Pemirsa kita melihat (gambar/visual) dan mendengar (suara/audio), bukan membaca naskah berita seperti membaca koran.
Kelemahan media televisi adalah berita yang ditayangkan di layar televisi umumnya hanya muncul satu kali. Jika pemirsa tidak bisa menangkap isi berita pada tayangan pertama, ia tak punya peluang untuk minta diulang. Kecuali mungkin untuk berita yang dianggap sangat penting, sehingga dari waktu ke waktu selalu diulang dan perkembangannya di-update oleh stasiun TV bersangkutan.
Keterbatasan tersebut berlaku untuk media TV konvensional. Namun, saat ini sudah muncul jenis media TV yang tidak konvensional. Sekarang di sejumlah negara maju sudah mulai diperkenalkan IPTV (internet protocol television), yang bersifat interaktif. Pemirsa yang berminat bisa mengulang bagian dari tayangan TV yang ia inginkan, tentunya dengan membayar biaya tertentu.
Namun, IPTV mensyaratkan adanya infrastruktur telekomunikasi pita lebar yang canggih dan mahal, yang saat ini belum tersedia di Indonesia. Dalam dua atau tiga tahun ke depan (katakanlah sampai tahun 2010), tampaknya infrastruktur semacam ini juga belum siap untuk mewujudkan kehadiran IPTV di Indonesia. Jadi, dalam pembahasan teknik penulisan naskah berita, kita mengasumsikan, media televisi di Indonesia sampai tahun 2010 masih akan bersifat konvensional.
Untuk media televisi yang konvensional, sebuah tayangan berita tidak bisa disimak dan dibaca berulang-ulang seperti kita membaca koran. Pemirsa hanya punya satu kesempatan untuk menangkap isi berita Anda. Oleh karena itu, berita di TV dibuat dengan gaya bahasa bertutur, seperti percakapan sehari-hari, karena ini adalah gaya bahasa yang paling akrab dan biasa didengar orang. Tulislah naskah berita seperti gaya orang berbicara.
Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, kita amat jarang menggunakan kalimat yang berpanjang-panjang, atau memiliki anak-anak kalimat. Namun, meskipun berita di TV menggunakan gaya bahasa bertutur, tata bahasanya tetap harus benar.
Clear:
Batasi kalimat untuk satu gagasan saja. Hal ini akan memudahkan para pendengar untuk menangkap dan memahami isi berita. Jangan menggunakan bahasa jargon atau slang, yang hanya dikenal kalangan tertentu. Hindari susunan kalimat yang rumit.
Atribusi untuk narasumber disampaikan lebih dulu sebelum pernyataannya, dan bukan sebaliknya. Hal ini untuk menghindarkan kebingungan di pihak pemirsa, dalam membedakan mana narasi dari si reporter dan mana opini dari si narasumber. Ini bertolak belakang dengan praktik yang biasa dilakukan di media cetak.
Jangan menggunakan terlalu banyak angka. Penyebutan angka-angka sulit ditangkap oleh pemirsa ketika mendengarkan berita. Buatlah angka itu mudah dimengerti. Jangan menempatkan angka di awal kalimat, karena bisa membingungkan.
Concise:
Gunakan kalimat-kalimat yang bersifat pernyataan (deklaratif).
Tulislah kalimat-kalimat yang pendek. Menurut hasil riset, kalimat pendek lebih mudah dipahami dan lebih kuat, ketimbang kalimat-kalimat panjang. Sebetulnya tidak ada aturan wajib tentang panjang kalimat yang dibolehkan. Namun, cobalah membatasi agar setiap kalimat yang Anda tulis tidak lebih dari 20 kata.
Compelling:
Tulislah dalam bentuk kalimat aktif. Para penulis berita menggunakan kalimat aktif karena lebih kuat dan lebih menarik. Selain itu, kalimat aktif juga lebih pendek daripada kalimat pasif.
Cliché free:
Kalimat atau pernyataan klise adalah pernyataan yang sudah terlalu sering digunakan di media. Pernyataan klise mungkin tidak akurat dan salah arah, namun harus diakui, banyak reporter merasa sulit menghindari pernyataan klise seperti ini.
Contoh kalimat klise untuk penutup berita: “Kasus itu masih dalam penyelidikan.” Kalimat klise seperti ini bisa dibilang tidak memberi informasi tambahan apapun kepada pemirsa.
Maka, kalimat klise ini sebaiknya diganti dengan yang lebih informatif. Misalnya: “Polisi sampai hari ini masih belum mengetahui penyebab kecelakaan. Polisi mengharapkan, hasil penyidikan akan dapat diungkapkan hari Jumat besok. Reportase Trans TV akan melaporkan perkembangan ini besok untuk Anda.”
Aturan-aturan Dasar:
Ada aturan-aturan dasar tertentu dalam penulisan berita untuk media televisi. Aturan ini bertujuan untuk membuat isi berita tersebut lebih mudah dipahami oleh pemirsa. Aturan ini juga akan membantu dan memudahkan presenter atau reporter di lapangan untuk membacakan berita tanpa kesalahan.
Angka. Dalam penulisan angka, sebutkan jelas angka dari “satu” sampai “sebelas”. Lebih dari “sebelas”, ditulis dalam bentuk angka: 12, 14, 25, dan seterusnya.
Untuk uang senilai Rp 145.325,50 tulis saja “seratus empat puluh lima ribu rupiah” atau “145 ribu rupiah.”
Untuk menyebut tahun, sebut apa adanya, karena presenter akan dengan cepat memahami angka tahun. Misalnya: 1998, 2007, dan seterusnya.
Singkatan dan akronim. Tuliskan dengan jelas singkatan sebagaimana Anda ingin mendengarnya on air. Misalnya: ITB ditulis “I-T-B.”
Jika suatu akronim sudah cukup dikenal, biarkan seperti apa adanya di naskah. Misalnya: NATO, OPEC, BAKIN, dan sebagainya.
Namun, jika si reporter ragu pemirsa akan memahami singkatan atau akronim itu, gunakan saja kepanjangan lengkapnya. Hal itu lebih aman dan menghindarkan presenter dari kemungkinan membuat kekeliruan.
Punctuation. Jangan gunakan punctuation dalam penulisan berita. Juga colon dan semicolon. Koma juga jarang digunakan dalam naskah untuk menandai jeda atau perubahan pemikiran. Presenter lebih suka menggunakan tiga titik (“…”) untuk menandai jeda, karena lebih mudah dibaca di alat TelePrompTer.
Nama. Selalu gunakan nama dan gelar secara sederhana dan bertutur. Jika Anda harus mengidentifikasi seseorang dengan gelarnya, tuliskan gelar itu di depan nama mereka, seperti ketika kita memberi atribusi. Kita bisa menambahkan informasi identifikasi lain, sesudah menyebut nama.
Spelling. Salah menyebut kata atau salah mengeja bisa terjadi pada presenter. Itulah sebabnya, sebelum tampil di layar TV, mereka memang sebaiknya membaca dulu naskah beritanya. Namun, sering hal ini tak dilakukan karena berbagai sebab. Entah karena sekadar malas, atau berita memang ditulis dadakan. Untuk menghindari kekeliruan, reporter yang menulis berita perlu memberitahu presenter, tentang cara mengucapkan nama atau istilah tertentu yang tidak biasa.
Grammar/Tata bahasa. Tata bahasa yang buruk bisa berdampak jelek pada penampilan presenter. Maka, periksalah sekali lagi naskah berita, untuk menghindari tata bahasa yang buruk, sebelum naskah itu diserahkan ke presenter.
Lead yang menjual:
Setiap berita harus dimulai dengan kalimat lead yang kuat. Lead yang paling efektif biasanya mengacu ke beberapa aspek dari berita, yang dianggap penting atau menarik bagi pemirsa. Aspek ini kita namai “hook.” Kenali aspek dalam berita itu yang akan memancing perhatian pemirsa dan gunakanlah pada kalimat lead. Lead semacam itu akan memelihara tingkat perhatian dari pemirsa TV.
Referensi:
•1. Baksin, Askurifai. 2006. Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
•2. Harahap, Arifin S. 2006. Jurnalistik Televisi: Teknik Memburu dan Menulis Berita. Jakarta: PT. Indeks, Kelompok Gramedia.
•3. Ishadi SK. 1999. Prospek Bisnis Informasi di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
•4. Ishadi S. 1999. Dunia Penyiaran: Prospek dan Tantangannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
•5. Smith, Dow. 2000. Power Producer: A Practical guide to TV news Producing – 2nd edition. Washington: Radio-Television News Directors Association.
•6. Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Televisi dan Intervensi Negara: Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.

konsep dasar berita

1. Pengertian berita
Sesungguhnya berita adalah hasil rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan. Itulah sebabnya ada orang yang beranggapan bahwa penulisan berita lebih merupakan pekerjaan merekonstruksikan realitas sosial ketimbang gambaran dari realitas itu sendiri. Saya sendiri setuju dengan anggapan ini. Bagaimanapun, tidak ada seorang pun yang sanggup merekonstruksikan realitas sosial memiliki empat muka, maka yang sering diungkap para wartawan hanya dua muka.Hal ini diakui sendiri oleh Thoriq Hadad, wartawan eks “Tempo”. Dalam sebuah perbincangan dengan saya di Surabaya, 6 Agustus 1994. Thoriq Hadad mengatakan bahwa apa yang diungkapkan “Tempo” dalam pemberitaannya hanya sekitar 60% dari apa yang diketahui “Tempo”. Sudah begitu, pemerintah masih menganggap “Tempo” tidak bisa menahan diri. Lalu, bagaimana mendefinisikan berita? Untuk keperluan definisi berita, bisa saja dikutip pendapat Nancy Nasution, yakni: Laporan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang ingin diketahui oleh umum, dengan sifat-sifat aktual, terjadi di lingkungan pembaca, mengenai tokoh terkemuka, akibat peristiwa tersebut berpengaruh terhadap pembaca (Dalam Basuki 1983:1).
Bisa juga dikutipkan pendapat W.J.S. Purwadarminta, yang mengatakan bahwa berita adalah laporan tentang satu kejadian yang terbaru (ibid). Kedua pengertian ini menimbulkan pendapat bahwa tidak semua yang tertulis dalam surat kabar atau majalah bisa disebut sebagai berita. Iklan dan resep masakan tidak bisa disebut berita. Yang disebut berita adalah laporan tentang sebuah peristiwa. Dengan perkataan lain, sebuah peristiwa tidak akan pernah menjadi berita bila peristiwa tersebut tidak dilaporkan.
2. Nilai-nilai berita
Tidak semua laporan tentang kejadian pantas dilaporkan kepada khalayak. Pertengkaran antara suami-istri orang kebanyakan tidak perlu dilaporkan kepada khalayak. Pekerjaan seorang dosen membimbing mahasiswa juga tidak perlu dilaporkan kepada khalayak. Mengapa? Di samping merupakan peristiwa rutin, kedua peristiwa tersebut juga tidak memiliki nilai berita.
Lalu, apa kriteria peristiwa yang patut dilaporkan kepada khalayak? Kriterianya hanya satu, yaitu peristiwa yang memiliki nilai berita. Nilai berita sendiri, menurut Julian Harriss, Kelly Leiter dan Stanley Johnson, mengandung delapan unsur, yaitu: konflik, kemajuan, penting, dekat, aktual, unik, manusiawi, dan berpengaruh (Harriss, Leiter dan Johnson 1981:29-33). Artinya, sebelum seseorang melaporkan sebuah peristiwa, ia perlu mengkonfirmasikannya dengan kriteria-kriteria tersebut.
Operasionalisasinya begini:
Konflik
Informasi yang menggambarkan pertentangan antar manusia, bangsa dan negara perlu dilaporkan kepada khalayak. Dengan begitu khalayak mudah untuk mengambil sikap.
Kemajuan
Informasi tentang kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi senantiasa perlu dilaporkan kepada khalayak. Dengan demikian, khalayak mengetahui kemajuan peradapan menusia. Penting Informasi yang penting bagi khalayak dalam rangka menjalani kehidupan mereka sehari-hari perlu segera dilaporkan kepada khalayak.
Dekat
Informasi yang memiliki kedekatan emosi dan jarak geografis dengan khalayak perlu segera dilaporkan. Makin dekat satu lokasi peristiwa dengan tempat khalayak, informasinya akan makin disukai khalayak.
Aktual
Informasi tentang peristiwa yang unik, yang jarang terjadi perlu segera dilaporkan kepada khalayak. Banyak sekali peristiwa yang unik, misalnya mobil bermain sepak bola, perkawanan manusia dengan gorila, dan sebagainya.
Manusiawi
Informasi yang bisa menyentuh emosi khalayak, seperti yang bisa membuat menangis, terharu, tertawa, dan sebagainya, perlu dilaporkan kepada khalayak. Dengan begitu, khalayak akan bisa meningkatkan taraf kemanusiaannya.
Berpengaruh
Informasi mengenai peristiwa yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak perlu dilaporkan kepada khalayak. Misalnya informasi tentang operasi pasar Bulog, informasi tentang banjir, dan sebagainya. Jumlah unsur nilai berita yang harus dipenuhi setiap peristiwa sebelum
dijadikan berita berbeda pada setiap penerbitan pers. Ada surat kabar yang menetapkan hanya lima unsur nilai berita. Tetapi, ada juga yang enam unsur. Yang jelas, makin banyak sebuah peritiwa memiliki unsur nilai berita, makin besar kemungkinan beritanya disiarkan oleh penerbitan pers.
3. Jenis-jenis berita
Kalau kita sepakat bahwa yang menjadi bahan dasar berita adalah realitas sosial dalam bentuk peristiwa, maka jelas peristiwa itu bermacam-macam. Da peristiwa orang berseminar. Ada pula peristiwa pembunuhan. Bahkan ada peristiwa pembatalan SIUPP. Untuk memudahkan penggolongan jenis-jenis berita berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia, Maryono Basuki membagi berita berdasarkan: (1) sifat kejadian; (2) masalah yang dicakup; (3) lingkup pemberitaan; dan (4) sifat pemberitaan (Basuki 1983:5).
Operasionalisasinya begini:
Berdasarkan sifat kejadian.
Terdapat empat jenis berita, yaitu:
  1. Berita yang sudah diduga akan terjadi.
    Misalnya: wawancara seorang wartawan dengan Goenawan Mohamad yang tampil dalam sebuah seminar.
  2. Berita tentang peristiwa yang terjadi mendadak sontak.
    Misalnya: peristiwa kebakaran kantor sentral telepon.
  3. Berita tentang peristiwa yang direncanakan akan terjadi.
    Misalnya: peristiwa peringatan Hari Lingkungan Hidup setiap 5 Juni.
  4. Berita tentang gabungan peristiwa terduga dan tidak terduga.
    Misalnya: peristiwa percobaan pembunuhan kepala negara pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan masalah yang dicakup.
Masalah di sini biasanya merujuk kepada aspek kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Secara umum, terdapat empat aspek kehidupan manusia, yaitu: aspek sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tetapi, seiring dengan perkembangan masyarakat, keempat aspek ini terasa tidak memadai lagi. Ia perlu dipecah lagi menjadi berbagai aspek. Karena itu, tidak ada salahnya menggolongkan jenis berita berdasarkan masalah yang dicakup menurut jumlah kementrian yang ada dalam Kabinet Pembangunan 6.
Atas dasar pemikiran ini, jenis-jenis berita tersebut menjadi: berita dalam negeri, berita luar negeri, berita hukum, berita sosial, berita pendidikan dan kebudayaan, berita pertanian, berita lingkungan hidup, berita perumahan, berita pemuda dan oleh raga, berita transmigrasi, berita kesehatan, berita ilmu pengetahuan, berita kopersi, berita pertanahan, berita penerangan, berita perindustrian, berita perbankan, berita perhubungan, berita perdagangan, berita kehutanan, berita agama, berita pertambangan, dan berita pangan.
Berdasarkan lingkup pemberitaan. Lingkup pemberitaan, biasanya,
dibagi menjadi empat bagian, yaitu lokal, regional, nasional, dan internasional. Sebuah berita disebut berlingkup lokal kalau peristiwa yang dilaporkannya terjadi di sebuah kabupaten dan akibatnya hanya dirasakan di daerah itu, atau paling-paling di kabupaten lain dalam propinsi yang sama. Sebuah berita disebut berlingkup nasional kalau pelaporan peristiwa yang terjadi di satu negara dapat dirasakan di negara lain.
Berdasarkan sifat pemberitaan. Sifat berita bisa dilihat dari isinya.
Ada isi berita yang memberitahu, mendidik, menghibur, memberikan contoh, mempengaruhi, dan sebagainya. Bisa saya sebuah berita mempunyai sifat lebih dari satu. Tetapi, sifat berita yang terutama adalah memberitahu.
4. Unsur-unsur berita
Secara umu, unsur-unsur berita yang selalu ada pada sebuah berita adalah: headline, deadline, lead, dan body (Basuki 1983:22-25).
Headline.
Biasa disebut judul. Sering juga dilengkapi dengan anak judul. Ia berguna untuk: (1) menolong pembaca agar segera mengetahui peristiwa yang akan diberitakan; (2) menonjolkan satu berita dengan dukungan teknik grafika.
Deadline.
Ada yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Ada pula yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. Tujuannya adalah untuk menunjukkan tempat kejadian dan inisial media.
Lead.
Lazim disebut teras berita. Biasanya ditulis pada paragraph pertama sebuah berita. Ia merupakan unsur yang paling penting dari sebuah berita, yang menentukan apakah isi berita akan dibaca atau tidak. Ia merupakan sari pati sebuah berita, yang melukiskan seluruh berita secara singkat.
Body.
Atau tubuh berita. Isinya menceritakan peristiwa yang dilaporkan dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas. Dengan demikian body merupakan perkembangan berita.
5. Struktur berita
Struktur berita sangat ditentukan oleh format berita yang akan ditulis. Struktur berita langsung berbeda dengan beritaringan dan berita kisah. Tetapim, untuk berita langsung, menurut Bruce D. Itule dan Douglas A. Anderson, struktur yang lazim hanya satu, yaitu piramida terbalik (Itule dan Anderson 1987: 62-63). Bila diskemakan, struktur ini menjadi:

Lead menunjukkan bagian permulaan berita yang paling penting.
Sedangkan piramida terbalik menunjukkan begian yang penting dari sebuah
berita pada bagian awal dan makin ke bawah makin kurang penting. Dengan
perkataan lain, seiring dengan menyempitkan piramida terbalik, berkurang
pula arti penting beritanya. Struktur seperti ini, di samping memudahkan
mengenali inti berita, juga memudahkan pemotongan bagian yang tidak
mungkin termuat.
Sedangkan untuk struktur berita ringan, kemungkinannya ada dua,
yaitu:

(Sumber: Ditjen Pendidikan Tinggi Dep P dan K, 1978: 148)
Struktur (1) memperlihatkan bahwa semua bagian berita sama pentingnya. Struktur ini sering menyertakan sub judul pada bagian body. Struktur(1) juga cocok untuk menyajikan berita secara kronologis.
Sedangkan struktur (2) memperlihatkan body, yang semakin ke bawah semakin berkurang bobotnya.
Struktur-struktur berita di atas bisa dipandang sebagai kerangka berita, yang akan diisi dengan fakta. Dalam mengisi kerangka berita, satu hal yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan ide yang dikandung satu alinea dengan ide yang dikandung alinea berikutnya. Kalau keterkaitan itu tidak ada, maka ceritanya akan tersendat-sendat, tidak ”mengalir”. Pengalaman menunjukkan, hanya berita yang terasa ”mengalir” saja yang disenangi oleh khalayak.